Kita terkadang atau bahkan sering
sekali untuk tidak bisa menerima kenyataan. Saat kita mendapatkan suatu masalah
yang mungkin orang lain menganggapnya sepele, tetapi kita menganggap itu sebuah
ujian yang maha dahsyat bahkan kita seakan akan tak bisa menghadapi atau bahkan
menyelesaikannya. Atau saat kita mendapatkan hasil yang tidak diinginkan,
sangat mudah untuk menyalahkan obyek lain. Saat nilai kita jelek, kita
menyalahkan pengajarnya. Pengajarnya baik, kita salahkan teman kita. Teman kita
udah kasih contekan, kita salahkan pengawas. Pengawasnya udah kasih kesempatan,
kita salahkan soal. Soalnya terlalu mudah, kita kembali lagi menyalahkan
pengajar. Begitu seterusnya hingga pada pilihan yang paling terakhir terdapat
kata “saya” yang pantas untuk disalahkan.
Begitu juga soal masalah
percintaan. Saat salah satu pihak diputuskan, pertama kali yang patut
disalahkan pasti pihak yang memutuskan. Saat pihak yang memutuskan berkata
bahwa teman-teman yang tak menginginkan kita, kita meyalahkan teman-temannya.
Saat pihak yang memutuskan berkata bahwa orang tuanya yang tak merestui, kita
menyalahkan orang tuanya. Dan saat pihak yang memutuskan berkata secara
filosofis (atau kode yang terbaca) bahwa waktu yang sudah tidak memungkinkan,
kita pasti akan berkoar-koar dan menyalahkan waktu—tapi jelas-jelas kita tidak
bisa menghujat waktu.
Dan memang kita diciptakan dengan
memiliki ego untuk bisa bertahan hidup. Tapi kita juga diciptakan dengan
memiliki hati untuk bisa merasakan, bahwa kita bisa untuk dipersalahkan. Kita
salah karena kita tidak belajar. Kita salah karena kurang memahami. Kita salah
karena kita tidak bisa berubah. Kita salah karena kita salah. Jadi legowo lah
yang bisa kita hadirkan untuk melapangkan hati dan menerima kenyataan. Dan
legowolah yang bisa menjadi cermin untuk kita introspeksi dan yakini bahwa kita
ini memang bukan apa-apa.