Jumat, 21 Februari 2014

Legowo

Kita terkadang atau bahkan sering sekali untuk tidak bisa menerima kenyataan. Saat kita mendapatkan suatu masalah yang mungkin orang lain menganggapnya sepele, tetapi kita menganggap itu sebuah ujian yang maha dahsyat bahkan kita seakan akan tak bisa menghadapi atau bahkan menyelesaikannya. Atau saat kita mendapatkan hasil yang tidak diinginkan, sangat mudah untuk menyalahkan obyek lain. Saat nilai kita jelek, kita menyalahkan pengajarnya. Pengajarnya baik, kita salahkan teman kita. Teman kita udah kasih contekan, kita salahkan pengawas. Pengawasnya udah kasih kesempatan, kita salahkan soal. Soalnya terlalu mudah, kita kembali lagi menyalahkan pengajar. Begitu seterusnya hingga pada pilihan yang paling terakhir terdapat kata “saya” yang pantas untuk disalahkan.

Begitu juga soal masalah percintaan. Saat salah satu pihak diputuskan, pertama kali yang patut disalahkan pasti pihak yang memutuskan. Saat pihak yang memutuskan berkata bahwa teman-teman yang tak menginginkan kita, kita meyalahkan teman-temannya. Saat pihak yang memutuskan berkata bahwa orang tuanya yang tak merestui, kita menyalahkan orang tuanya. Dan saat pihak yang memutuskan berkata secara filosofis (atau kode yang terbaca) bahwa waktu yang sudah tidak memungkinkan, kita pasti akan berkoar-koar dan menyalahkan waktu—tapi jelas-jelas kita tidak bisa menghujat waktu.

Dan memang kita diciptakan dengan memiliki ego untuk bisa bertahan hidup. Tapi kita juga diciptakan dengan memiliki hati untuk bisa merasakan, bahwa kita bisa untuk dipersalahkan. Kita salah karena kita tidak belajar. Kita salah karena kurang memahami. Kita salah karena kita tidak bisa berubah. Kita salah karena kita salah. Jadi legowo lah yang bisa kita hadirkan untuk melapangkan hati dan menerima kenyataan. Dan legowolah yang bisa menjadi cermin untuk kita introspeksi dan yakini bahwa kita ini memang bukan apa-apa.

Razbliuto

Setiap orang pasti memiliki kenangan masing – masing terutama dalam masalah putus cinta. Ada yang menganggap putus dengan kekasihnya merasa bahagia sampai - sampai saat keputusan dijatuhkan mereka langsung melakukan sujud syukur dan potong kurban, ada juga yang menganggapnya itu hal yang biasa, ada juga yang menganggapnya dengan rintihan dan tangis air mata yang meraung-raung sampai – sampai kepalanya dijedot-jedotin tembok. Ini benar benar sikap yang epik.

Memang kita menginginkan kemesraan janganlah cepat berlalu. Tetapi karena berbagi faktor – faktor internal maupun eksternal dalam sebuah hubungan yang membuat kita memutuskan berpisah dengan pasangan. Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Karena itu adalah kesepakatan bersama. Kamu atau dia yang mengusulkan, kamu atau dia juga yang mengesahkan. Dan akhirnya dipertemukan dalam acara yang bernama perpisahan.

Ini hanya masalah sikap. Setelah perpisahan, banyak sekali sikap-sikap yang kita lakukan untuk minimal tidak berkomunikasi dengan “masa lalu”. Ada yang menanggapinya dengan biasa saja atau bahkan masih “meladeni masa lalu”, ada yang sangat antipati sehingga segala macam sosial media yang berhubungan dengan dia segera diblock.

Sikap yang terlalu antipati tersebut, menurut istilah dinamakan razbliuto. Razbliuto adalah perasaan sentimental yang Anda miliki tentang seseorang yang Anda pernah cintai tapi sekarang tidak lagi. Bukan karena sudah tidak berhubungan lagi, tapi karena trauma atau bahkan phobia dengan hal – hal yang menyebabkan perpisahan. Untuk menghindari hal itu, seseorang bahkan tega menghilangkan semua jejak masa lalu untuk bisa kembali ke kehidupan normal atau bisa disebut move on.

Dan semua itu tergantung dari sikap, kemauan, hati dan pikiran para insan yang sedang putus cinta..