Jumat, 11 Maret 2016

Karena Hidup Adalah Konser

Lelaki berkumis itu rela berdesak-desakan dengan kerumunan massa yang ada di kawasan Simpang Lima. Sambil menggendong anaknya yang berumur dua tahun, dia mencari posisi yang paling nyaman demi untuk menonton artis dari Jakarta. Konon katanya, artis ini merupakan musisi dangdut tersohor yang kebetulan bagian dari kampanye salah satu partai besar dalam rangka meraih suara di ibukota Jawa Tengah. Tetapi yang menarik perhatian ini bukan janji-janji yang diberikan wakil rakyat, melainkan penampilan artis dangdut ini yang dikenal memiliki basis fans yang militan.

                Setelah lelah mendengarkan omong kosong dari para wakil rakyat, akhirnya momen itu datang juga. Artis yang dijanjikan akan segera tampil untuk menghibur para penonton (walau sebagian yang menonton adalah simpatisan kader partai). Namanya sudah mulai dielu-elukan saat MC menyebutkan namanya. Dan benar saja. Massa semakin heboh saat artis ini mulai naik ke atas panggung. Sambil berbasa basi, tak lupa artis ini mengajak para penonton untuk memilih partai yang dipilih olehnya. Sayangnya, massa tak peduli itu. Yang mereka butuhkan adalah artis ini segera mendendangkan lagunya.

                “Baiklah, lagu pertama untuk kalian semua... 1... 2... 3...”

                Suara gendang dan bas sudah membuat sound system di lapangan Simpang Lima seakan pecah. Mengalunlah lagu pertama, disambut sorak sorai penonton yang memasang kuda-kuda untuk berjoget. Sang bapak berkumis tadi tak ketinggalan berjoget, dengan mengangkat anaknya ke udara, layaknya memamerkan sebuah piala. Sang anak pun menangis ketakutan karena kaget mendengar bebunyian yang mendebarkan jantungnya. Artis ini membuat massa kembali bersemangat.

                Begitulah pengalaman pertama saya saat melihat konser. Waktu itu, saya masih dalam dekapan ayah yang memang fanatik dengan artis tersebut. Hingga sekarang, ayah masih sering menyanyikan lagu-lagu dari beliau yang kini masih aktif berpolitik. Terlepas dari itu, menonton konser adalah suatu pengalaman yang sangat mengasyikan.

                Sebagian orang, menganggap menonton konser adalah aktivitas hedon. Mereka rela mengeluarkan dana (dari puluhan ribu hingga berjuta-juta), hanya untuk melihat penampilan musisi memainkan belasan atau puluhan lagu. Sedangkan mereka hanya menikmatinya sambil duduk menghayati lagu sambil sesekali mendokumentasikan penampilan musisi yang menjelajahi panggung.

Ada juga bagi orang-orang yang menonton konser cuma-cuma di tengah lapangan tandus pada siang hari sambil berjoget-joget mendengar bunyi gendang ditabuhkan. Setiap konser memiliki pangsa pasar dan kelasnya masing-masing.

Menurut wikipedia Indonesia, konser berasal dari bahasa Italia : concerto yang artinya berjuang atau berlomba dengan orang lain. Dalam istilah, konser adalah pertunjukan seni langsung dihadapan penonton. Konser merupakan pertunjukan yang menyuguhkan penampilan, ke hadapan penonton sehingga merasa terhibur.


Tak peduli dengan anggapan orang, bagi saya menonton konser adalah melihat pertunjukan yang kompleks. Karena disana banyak aspek yang dipersiapkan. Aspek teknis, nonteknis, eksternal, dan sebagainya. Dan konser adalah cara saya untuk melepaskan penat, karena dengan menonton konser sama seperti menonton kehidupan, entah dari musisi atau seniman yang menampilkannya maupun sesama penonton disekeliling kita. Saya senang dengan semangat sang musisi menyanyikan lagu mereka, diiringi nyanyian bersama para penonton sambil bernyanyi. Dan disitu, salah satu letak kebahagiaan saya bisa melihat perjuangan para pengisi kehidupan. Karena pada dasarnya seperti kata Arian Arifin (vokalis Seringai) dalam hastag instagramnya, #HidupAdalahKonser.