Lelaki berkumis itu rela
berdesak-desakan dengan kerumunan massa yang ada di kawasan Simpang Lima.
Sambil menggendong anaknya yang berumur dua tahun, dia mencari posisi yang
paling nyaman demi untuk menonton artis dari Jakarta. Konon katanya, artis ini
merupakan musisi dangdut tersohor yang kebetulan bagian dari kampanye salah
satu partai besar dalam rangka meraih suara di ibukota Jawa Tengah. Tetapi yang
menarik perhatian ini bukan janji-janji yang diberikan wakil rakyat, melainkan
penampilan artis dangdut ini yang dikenal memiliki basis fans yang militan.
Setelah
lelah mendengarkan omong kosong dari para wakil rakyat, akhirnya momen itu datang
juga. Artis yang dijanjikan akan segera tampil untuk menghibur para penonton
(walau sebagian yang menonton adalah simpatisan kader partai). Namanya sudah
mulai dielu-elukan saat MC menyebutkan namanya. Dan benar saja. Massa semakin
heboh saat artis ini mulai naik ke atas panggung. Sambil berbasa basi, tak lupa
artis ini mengajak para penonton untuk memilih partai yang dipilih olehnya.
Sayangnya, massa tak peduli itu. Yang mereka butuhkan adalah artis ini segera
mendendangkan lagunya.
“Baiklah,
lagu pertama untuk kalian semua... 1... 2... 3...”
Suara
gendang dan bas sudah membuat sound system di lapangan Simpang Lima seakan
pecah. Mengalunlah lagu pertama, disambut sorak sorai penonton yang memasang
kuda-kuda untuk berjoget. Sang bapak berkumis tadi tak ketinggalan berjoget,
dengan mengangkat anaknya ke udara, layaknya memamerkan sebuah piala. Sang anak
pun menangis ketakutan karena kaget mendengar bebunyian yang mendebarkan
jantungnya. Artis ini membuat massa kembali bersemangat.
Begitulah
pengalaman pertama saya saat melihat konser. Waktu itu, saya masih dalam dekapan
ayah yang memang fanatik dengan artis tersebut. Hingga sekarang, ayah masih
sering menyanyikan lagu-lagu dari beliau yang kini masih aktif berpolitik.
Terlepas dari itu, menonton konser adalah suatu pengalaman yang sangat
mengasyikan.
Sebagian
orang, menganggap menonton konser adalah aktivitas hedon. Mereka rela
mengeluarkan dana (dari puluhan ribu hingga berjuta-juta), hanya untuk melihat
penampilan musisi memainkan belasan atau puluhan lagu. Sedangkan mereka hanya
menikmatinya sambil duduk menghayati lagu sambil sesekali mendokumentasikan
penampilan musisi yang menjelajahi panggung.
Ada juga bagi
orang-orang yang menonton konser cuma-cuma di tengah lapangan tandus pada siang
hari sambil berjoget-joget mendengar bunyi gendang ditabuhkan. Setiap konser memiliki
pangsa pasar dan kelasnya masing-masing.
Menurut wikipedia
Indonesia, konser berasal dari bahasa Italia : concerto yang artinya berjuang atau berlomba dengan orang lain.
Dalam istilah, konser adalah pertunjukan seni langsung dihadapan penonton.
Konser merupakan pertunjukan yang menyuguhkan penampilan, ke hadapan penonton
sehingga merasa terhibur.
Tak peduli
dengan anggapan orang, bagi saya menonton konser adalah melihat pertunjukan
yang kompleks. Karena disana banyak aspek yang dipersiapkan. Aspek teknis,
nonteknis, eksternal, dan sebagainya. Dan konser adalah cara saya untuk
melepaskan penat, karena dengan menonton konser sama seperti menonton
kehidupan, entah dari musisi atau seniman yang menampilkannya maupun sesama
penonton disekeliling kita. Saya senang dengan semangat sang musisi menyanyikan
lagu mereka, diiringi nyanyian bersama para penonton sambil bernyanyi. Dan
disitu, salah satu letak kebahagiaan saya bisa melihat perjuangan para pengisi
kehidupan. Karena pada dasarnya seperti kata Arian Arifin (vokalis Seringai)
dalam hastag instagramnya, #HidupAdalahKonser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar