Rabu, 14 Januari 2015

Haters Gonna Hate

Menjadi haters itu bukan pilihan hidup. Menjadi haters itu jelas penuh resiko meski tidak menjadi stunt man. Cukup dengan mengemukakan opini diri sendiri  yang berbeda 180 derajat dengan opini publik tentang sebuah isu, ditambah kata-kata umpatan dan tak bermoral maka jadilah anda seorang haters yang siap menjadi bulan-bulanan warga--terutama di sosial media.
Kita sebagai bangsa Indonesia, terkenal dengan keberagamannya. Suku, etnis, agama, ras, dan sebagainya. Karena latar belakang itulah, kita seharusnya bisa menghargai segala perbedaan. Termasuk dalam memberikan pandangan. Masalahnya, pandangan orang yang berbeda dengan pandangan suatu kelompok menjadikan orang tersebut di-bully.
Ambil satu contoh, ada seorang public figure di sosial media memposting foto dirinya. Publik menganggap bahwa sosok artis tersebut orang yang "sempurna" dari penampilan, talenta, dan lain-lain. Mayoritas akun yang mengkomen postingan artis tersebut memuji dirinya. Namun, ada satu akun beda sendiri. Dia secara terang-terangan mencaci maki artis tersebut dan mengatakan bahwa artis tersebut lebih jelek ketimbang artis yang lain. Dan akhirnya, orang itu "dihajar" mayoritas akun yang membela artis tersebut dengan berbagai cacian, maupun umpatan.
Apa ada yang salah ? Kita lihat dari sisi kenapa haters melakukan seperti itu. Cari sensasikah ? Cari perhatiankah ? Cari masalahkah ? Atau mereka memiliki misi yang lain agar mereka diperhatikan ? Atau memiliki sudut pandang yang berbeda tentang artis tersebut ?
Masalahnya kemudian adalah cara kita sebagai mayoritas merespon para haters. Kita bisa meresponnya dengan cara seperti apa, memberi pencerahan ? Melakukan perdebatan ? Melontarkan cacian ? Atau malah membiarkan ?
Haters bukanlah pendosa. Mereka juga manusia. Yang memiliki pandangan yang berbeda. Masalahnya apa kita biarkan saja. Atau malah kita harus meresponnya. Tapi kalau sudah merugikan kita, ya kita hajar saja !

Tidak ada komentar: