Jumat, 16 Maret 2018

Menanti Pintu yang Terbuka

Akhirnya setelah empat tahun lamanya, gelar sarjana bisa diraih. Proses mendapatkannya yang cukup membuat frustasi, bercucuran air mata, dan menghabiskan banyak biaya. Meski di akhir cerita mendapatkan "kemudahan", tapi butuh kerja keras dan Alhamdulillah, keajaiban Tuhan memiliki andil dalam alur ini. Seperti lirik lagu gaudeamus igitur, bersenang-senanglah selagi masih muda, kami merayakan kelulusan dengan penuh kegembiraan. Sorak sorai teman-teman angkatan dan adik-adik yang turut menyambut, pak rektor yang ikut sumringah saat menjabat tangan kami, dan yang terpenting orang-orang yang kita cintai turut hadir dalam selebrasi satu malam ini. Tapi, larutnya pesta ini terkadang membuat kita tak sadar, bahwa ada hal lain yang lebih penting dari kelulusan: kenyataan.

Fase ini adalah krusial. Berbagai kemungkinan terjadi setelah kelulusan. Mungkin ada yang sudah bekerja karena sudah diterima sebelum wisuda, ada yang fokus dengan bisnisnya, ada yang sudah ancang-ancang menlanjutkan studinya, atau ada yang sudah siap menjalin kisah rumah tangga. Semua kemungkinan ini, tidak berlaku bagi mereka yang tidak punya tujuan: termasuk saya. 

Kebingungan melanda dengan berbagai alasan, antara faktor keluarga atau faktor dirinya. Mungkin dari kita ada yang keluarganya menginginkan anaknya untuk segera mencari pekerjaan, apapun pekerjaannya, berapapun gajinya, asal bisa membantu meringankan orang tua. Ada lagi dari keluarga yang menginginkan anaknya untuk segera lanjut studi, entah di dalam atau luar negeri, entah beasiswa atau biaya sendiri, selagi orang tua mampu pendidikan adalah yang utama baginya. Dan masih banyak kemungkinan dari keinginan orang tua untuk anaknya yang sudah diwisuda.

Di sisi lain, dari segi anaknya. Banyak sekali kemungkinan yang dimiliki oleh anak. Setelah wisuda, anak ini ingin istirahat dengan travelling ke tempat idaman yang tidak bisa dilakukan selama kuliah. Ada juga yang mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menambah softskill. Ada juga yang menghabiskan waktu bermain komputer berjam-jam. Dan sebagainya.

Tapi kemungkinan di atas, seperti tidak berlaku buat saya. Saya tidak memiliki rencana setelah saya lulus. Semua rencana untuk bekerja di industri yang diinginkan ambyar karena perusahaan yang bersangkutan tidak mencantumkan lulusan fisika sebagai calon pegawainya. Kendala tersendiri buat saya adalah latar belakang pendidikan yang saya miliki atau memang kompetensi saya yang masih jauh panggang dari api. Dari situ saya sadar, bukan salah dari pendidikannya tapi kompetensi yang dimiliki saya sudah kalah jauh dari orang yang memiliki kompetensi lewat pendidikannya.

Hingga hari ini, saya mencoba untuk berikhtiar. Menulis biodata dan memoles citra untuk personal data. Mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Menggerus pundi-pundi untuk mengurus administrasi. Sambil berikhtiar, saya berkeluh kesah dengan-Nya. Ingin sekali ada cerita yang bisa saya ketahui di masa depan, termasuk saya akan bekerja sebagai apa. Andai saja Tuhan membocorkan cerita saya, saya mungkin tidak akan berusaha. Maka dari itu, sambil melanjutkan langkah ke hutan rimba lowongan kerja atau samudera beasiswa, saya masih menanti pintu itu terbuka. 

Tidak ada komentar: