Sabtu, 02 Februari 2019

Takut

Sewaktu kecil, saya dikenal sangat penakut oleh keluarga. Ketakutan saya dimulai ketika film Godzilla (1998) sedang diputar di bioskop. Saya yang saat itu sedang berada di dekapan Ayah, mengikuti kemauan keluarga yang pada saat itu membeli tiket bioskop untuk menonton film tersebut. Awalnya berlangsung baik-baik saja. Hingga pada akhirnya, lampu studio dimatikan. Sontak saya menjerit dan menangis karena mau menonton film saja harus gelap-gelapan (seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa gelap-gelapan adalah hal yang mengasyikkan). Apalagi saya sudah merinding dulu mendengar nama Godzilla, nama singkat nan misterius yang bisa disetarakan dengan nama Suzanna. Melihat tingkah saya yang sudah tidak karuan, Ayah dengan rasa malu dan marah membawa saya keluar studio. Dengan penuh amarah, saya dinasehati untuk tidak menangis dan tidak takut dengan kegelapan yang ada di studio. Saya pun jejeritan dan masih tak mengerti mengapa orang-orang senang dengan kegelapan dan monster jahat yang membuat saya takut. Akhir cerita, saya dan Ayah sampai di rumah lebih cepat dibanding Ibu dan kakak saya yang masih menonton. Dan keluarga pun rugi setelah dua bangku itu tak terisi karena saya.

Kejadian itu menjadi pondasi ketakutan yang ada di jiwa saya. Dan memupuk segala ketakutan yang ada berkenaan dengan hantu dan sesuatu yang tak kasat mata. Mungkin sifat itu terbentuk sikap orang tua yang selalu melarang anaknya dengan bermaksud protektif. Orang tua sering melarang untuk melakukan hal yang bersifat negatif: mulai dari keluar rumah larut malam, merokok, berpacaran, dan sebagainya. Hingga hal-hal yang sepertinya tidak masuk akal: latihan motor, naik motor keluar kota, hingga melakukan bisnis kecil-kecilan. Hal ini tanpa sadar membuat saya menjadi orang yang gampang takut dan khawatir untuk melakukan sesuatu dan menjadi orang yang selalu membayangkan skenario yang tidak-tidak jika saya melakukan tersebut. Secara positif, mungkin bisa meningkatkan kewaspadaan saya terhadap sesuatu. Yang membuat berlebihan, mungkin menjadi orang yang mudah khawatir dan tidak berkembang.

Hampir pola asuh orang tua proksimal (ala timur) mempengaruhi jiwa-jiwa anaknya untuk taat dan patuh pada orang tua. Hal itu merupakan sesuatu yang bagus. Namun, terkadang saya menyadari bahwa itu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan yang bersifat mandiri. Timbul rasa ragu-ragu jika sudah dihadapkan pada suatu masalah, yang mungkin pada akhirnya membuat kita sulit untuk berkembang. Begitu pun di lingkungan kita. Selalu ada stereotipe dan mitos untuk menakut-nakuti warga sejak jaman dulu kala. Kita selalu diwanti-wanti tentang hantu yang bersifat fisik maupun ideologis. Ketakutan ini dilestarikan dan dieksploitasi dengan baik oleh para pemangku kepentingan. Menciptakan sebuah trauma. Dan pada akhirnya, membuat kita menjadi tidak berkembang.

Terkadang saya berpikir, apa yang membuat orang menjadi takut. Kenapa orang takut pada subjek tertentu. Saya seperti orang iseng kebanyakan: mencari kata kunci “takut” di mesin pencarian.  Dari situ, saya menemukan penjelasan ilmiah alasan orang memiliki rasa takut. Ketika merasa takut, otak merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuh seperti jantung berdebar, napas cepat, otot menegang, bahkan keluarnya keringat. Perasaan takut ini bisa menimpa siapa saja. Dan cara masing-masing orang meresponsnya pun berbeda-beda.

Suatu hari saya mendengarkan podcast, dari situ terdapat suatu kutipan, kelak teknologi yang paling laku adalah yang bisa mengatasi ketakutan. Setelah mendengar itu saya berpikir, betul juga. Tiap orang, seberani dan segentar apapun, juga memiliki ketakutan dengan kadar dan subjek yang berbeda tentunya. Manusia pada hakikatnya belum benar-benar menguasai ketakutan sehingga perlu adanya bantuan dari orang lain untuk mengatasinya, meskipun ada juga yang memiliki kekuatan sendiri.

Sampai saat ini, takut seperti menjadi bagian dari diri saya. Suatu ketakutan yang tidak saya ketahui. Berada di bawah bayang-bayang ketakutan sungguh tidak menyenangkan. Layaknya permen karet yang menempel di sepatu. Tetapi saya mencoba untuk berjalan seperti biasa. Layaknya tidak terjadi sesuatu, dan sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Sambil mencari makna, bahwa ketakutan terjadi karena kamu tidak mengetahui apa yang kamu takuti. Ketakutan terjadi karena kita hanya mendengar apa yang dilarang, tanpa melihat kebenarannya.

Tidak ada komentar: