Selasa, 22 Juni 2021

Jakarta

Sebagai orang yang lahir dan besar di luar Ibukota, sebuah keberuntungan (atau perjuangan) untuk bisa merantau ke Ibukota: pusat pemerintahan, pusat perekonomian, pusat perdagangan, pusat surga dan nerakanya kehidupan di Indonesia. Jakarta menyediakan segalanya beserta daerah-daerah penopangnya (Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor). Semua yang ada dan tak kita dapatkan di kampung halaman. Mentalita nyaman dengan rumah dari dalam diri sebenarnya sudah terbentuk 25 tahun yang lalu. Di mulai dari kecil, SD, SMP, SMA bahkan kuliah S-1 selalu berada dalam daerah yang sama. Untuk sekadar merantau pun hanya saat magang internship di Jogja, itupun hanya 2 bulan. Lalu sempat juga untuk ikut lomba karya ilmiah internasional di Malaysia dan India (negara terakhir ini punya kesan "traumatik") yang hanya satu minggu. 

Pengalaman menjadi warga Ibukota dan sekitarnya sebenarnya sudah tertanam sejak kecil. Saat Ibu menjadi mahasiswi universitas negeri di Depok. Setelah lulus, beliau menjadi pegawai instansi pemerintah di daerah Ampera, Jakarta Selatan. Setelah saya lahir, Ibu dipindahtugaskan ke Provinsi Jawa Tengah: Semarang. Selama tinggal di Semarang, biasanya setiap dua tahun sekali kami sekeluarga pergi ke Jakarta untuk mengunjungi rumah saudara. Dari situlah, kami tampaknya tidak mengalami culture shock untuk menjadi warga Ibukota.

Pengalaman yang membekas adalah saat mulai merantau meninggalkan Semarang menuju pinggiran barat daya Jakarta: Tangerang Selatan. Dengan bekal motor pinjaman saudara, saya berkelana berkeliling Jakarta. Tak terbayangkan motor Supra tahun 2009 berada di jalanan Sudirman Thamrin yang halus dan dikangkangi gedung-gedung tinggi. Sambil menahan gas motor, kepala saya terangkat, mengagumi gedung-gedung megah di sana. Berharap suatu hari berada di lantai atas yang melihat jalanan yang macet saat sore.

Jakarta menjanjikan segalanya. Pekerjaan, uang, barang-barang keduniawian. Di saat yang sama, aku merindukan untuk tinggal di pinggiran sawah, ditemani suara jangkrik di malam hari dan burung di pagi hari. Semua itu menjadi mimpi yang kontras untuk lelaki kampung ini  menapaki tanah mahal: Jakarta.

Tidak ada komentar: