Rabu, 31 Januari 2024

Januari

Bulan ini terasa sangat lama, mungkin karena kita telah kehilangan semangat dan kegembiraan kita selama liburan Natal dan Tahun Baru yang baru saja berakhir. Selain itu, sepanjang bulan ini, hampir tidak ada hari libur kecuali hari Minggu. Apa yang membuatnya terasa lebih lama daripada bulan-bulan lainnya?

Menurut Zhenguang Cai, seorang mahasiswa PhD di University College London (UCL) yang mempelajari persepsi waktu, ada beberapa alasan mengapa bulan Januari terasa begitu panjang. Salah satunya adalah kembali ke rutinitas setelah liburan Natal. Menurutnya, kemungkinan besar setelah kembali bekerja setelah liburan Natal, kita merasa bosan, terutama jika dibandingkan dengan kesenangan yang kita alami selama liburan Natal. Ini dapat menciptakan kesan bahwa waktu berjalan lebih lambat selama bulan Januari.

Januari sering dianggap sebagai bulan untuk bekerja, itulah sebabnya bulan ini terasa sangat panjang. Hal ini dapat dijelaskan dengan hipotesis tentang dopamin, yaitu neurotransmitter di otak yang berperan dalam motivasi dan penghargaan. Hipotesis tentang dopamin mengklaim bahwa tingkat dopamin yang tinggi dapat mempercepat jam internal manusia dan membuat kita merasa waktu berjalan lebih cepat. Penelitian pada tikus telah menunjukkan bahwa hipotesis ini sebagian benar.

Sebuah penelitian pada tahun 2010 menunjukkan bahwa para mahasiswa yang diberitahu bahwa mereka akan menghabiskan 10 menit untuk suatu tugas, meskipun sebenarnya hanya menghabiskan lima menit atau 20 menit, merasakan waktu retrospektif dengan cara yang berbeda. Ini adalah jenis penilaian yang sering membuat orang merasa bulan Januari terlalu lama. Ini lebih tentang ingatan daripada perhitungan waktu sebenarnya. Selain itu, kurangnya sinar matahari juga bisa menjadi penyebab mengapa banyak orang merasa demikian. Meskipun hari-hari sedikit lebih panjang di Januari, kekurangan sinar matahari membuat kita merasa hari berakhir lebih cepat dan bulan ini terasa lebih lambat daripada biasanya.

Pada tahun 1992, Profesor Dan Zakay juga mengemukakan bahwa waktu terasa lebih lama ketika kita merasa waktu sangat relevan, tetapi kita tidak tahu persis kapan sesuatu akan berakhir. Ini seperti merasa terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Selain itu, kesadaran bahwa bulan Januari terasa panjang justru membuatnya terasa lebih lama, karena kita lebih memperhatikan waktu. Cara kita memandang waktu, terutama dalam jangka waktu yang lebih lama, dapat memengaruhi persepsi kita tentang lamanya waktu.

Source: https://www.detik.com/edu/seleksi-masuk-pt/d-7140861/mengapa-januari-terasa-sangat-lama-ini-penjelasan-sains

Selain penelitian ini, banyak hal yang sudah terlewati di Januari tahun ini. Bulan yang seyogyanya menjadi awalan, kini menjadi sebuah akhir dari perpisahan. Rasa tak dihargai, tak dihormati, dan mungkin direndahkan. Perpisahan ini tidak hanya mencakup hubungan antarindividu, tetapi juga perpisahan dengan harapan dan impian yang mungkin telah terkikis selama bulan Januari. Bagi banyak orang, Januari menjadi momen ketika mereka merenungkan kembali resolusi dan tujuan yang mereka tetapkan pada awal tahun, dan sering kali mereka merasa kecewa dengan diri sendiri karena tidak dapat memenuhi ekspektasi mereka. Ini adalah saat-saat yang penuh emosi dan kekhawatiran, yang membuat perpisahan di bulan Januari terasa sangat signifikan dan berat. Meskipun bulan ini dimulai dengan harapan, akhirnya berakhir dengan perasaan kehilangan dan ketidakpastian.

Di bulan Februari dan bulan-bulan selanjutnya, kita dapat membawa pelajaran-pelajaran tersebut sebagai bekal untuk menghadapi masa depan dengan lebih bijak. Kita dapat menggunakan kekuatan yang kita peroleh dari pengalaman-pengalaman tersebut untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mungkin muncul di jalan kita. Selain itu, kita dapat memfokuskan perhatian pada pemenuhan resolusi dan tujuan yang mungkin telah kita tetapkan pada awal tahun, dengan tekad yang lebih kuat dan komitmen yang lebih tinggi. Dengan adanya harapan yang menyala-nyala di dalam hati kita, kita dapat melihat bulan mendatang sebagai kesempatan baru untuk meraih impian-impian dan aspirasi yang kita idamkan. Kita dapat merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menjalani perjalanan hidup ini dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Terlepas dari semua cobaan yang kita alami, kita memiliki kemampuan untuk menciptakan perubahan positif dan mencapai pencapaian-pencapaian besar di masa depan.

Alm Glenn Fredly pernah meratapi perpisahannya di bulan Januari. Namun, seiring berjalannya waktu dia percaya akan harapannya dengan Romansa ke Masa Depan. Pengalaman-pengalaman yang telah kita alami sepanjang bulan ini, termasuk perasaan tak dihargai, ketidakpastian, dan bahkan kekecewaan terhadap diri sendiri, seharusnya tidak hanya menjadi beban, tetapi juga pelajaran berharga yang membantu kita tumbuh dan berkembang.

Singapore, 31 Januari 2024

Sabtu, 03 September 2022

Ayah dan Anak

Akhir - akhir ini playlist music saya berisi lagu yang cukup sentimentil. Bukan lagu cinta meratap dan bukan elegi patah hati. Lagu bernuansa keluarga, nyanyian seorang bapak untuk anaknya. Meski tidak ada hubungannya dengan lagu Bimbo, namun tema ini cukup mengena di hati dan saya bisa membayangkan melalui gambaran seorang lelaki tua yang memberikan petuah melalui nada dan tidak ada unsur kesan berdakwah pada anaknya.

Selama di tahun 2022 ini saya bisa kembali pulang ke rumah setelah 2,5 tahun merantau di Tangerang Selatan. Banyak kisah dan memori yang mengaduk-aduk perasaan. Dari senang, sedih, gembira, marah hingga patah hati. Dan bisa dibilang hal terepik yang saya rasakan saat kembali pulang ke rumah seperti orang yang kalah perang. Layaknya Sheila on 7 menyanyikan lagu Berhenti Berharap. Layaknya kisah-kisah kungfu yang pergi ke gurunya untuk diobati dan berlatih lebih giat agar bisa bertarung dengan raja terakhir, kisah komik seperti ini terjadi.

Saya bersyukur saat ini bisa merasakan kehidupan Semarang yang sudah berubah 3 tahun yang lalu. Banyak bangunan dan jalan yang terasa asing saat dilewati. Kehidupan jalanan tampak lebih dinamis dan selalu ramai. Hingga akhirnya, saya bisa bercengkerama dengan keluarga. Orang tua tampak sehat wa'alfiat. Kakak sudah menemukan pekerjaan tetap. Adik sudah mulai beranjak dewasa dan memulai kuliahnya. Sementara saya, cukup di belakang sambil mengamati perubahan hidup banyak orang.

Suatu anomali yang terjadi adalah dimana para perempuan di rumah pergi ke kantor, sementara para lelaki seperti ayah dan saya hanya di rumah. Ayah menikmati masa pensiunnya dengan mengikuti kegiatan keagamaan di masjid, Adik tiduran sambil menunggu jadwal kuliah sudah terbit, sementara saya mengerjakan tugas-tugas kantor di depan laptop sambil ngopi dan mendengarkan lagu.

Ada dua lagu yang selalu saya putarkan di akhir malam. Lagu penguat hati dan menjadi bahan kontemplasi diri. Lagu yang dirilis 1970 oleh penyanyi Inggris Cat Stevens atau saat ini dikenal sebagai Yusuf Islam. Lagu dari album Tea for the Tillerman  berjudul Father and Son. Lagu yang bercerita tentang seorang Ayah yang menasehati anak lelakinya untuk tidak spaneng dengan kehidupan yang dia hadapi seperti apa yang dia lakukan saat sang Ayah masih muda dulu. Just relax take it easy. Sang anak diberi kebebasan untuk menentukan hidupnya, mau menikah atau berusaha sebisa mungkin meraih impiannya dan Ayahnya akan selalu mendukung dan membantunya dari belakang karena dia telah merasa sudah tua dan sang anak tidak perlu diperintah seperti waktu kecil dulu.

Satu lagi adalah lagu dari Indonesia, yang gayanya sama seperti Yusuf Islam. Lagu dari album Sugali yang dirilis tahun 1984 berjudul Nak. Sebuah lagu balad yang menceritakan seorang Ayah yang menyadari dan mengkhawatirkan kehidupan anak lelakinya kelak. Sebagai lelaki yang dikenal selalu kuat, sang Ayah selalu takut akan perjalanan anak lelakinya yang mungkin akan sama seperti perjalanannya. Lagu ini seperti menampar saya dalam malam yang panjang dan tanpa bintang, seperti bait di akhir lirik.

Engkau lelaki kelak sendiri

Jumat, 19 November 2021

Datang dan Pergi, Lalu Minum

 "Urip mung mampir ngombe"

Pepatah Jawa ini mungkin banyak yang tidak memahaminya. Hidup cuma mampir minum. Memang kenapa kalau sekadar minum? Apakah hidup hanya cuma menjadi melepas dahaga? Apakah hidup ini hanya membasahi tenggorokan saja?

Masyarakat Jawa mengenal istilah ini yang merupakan kesejatian dalam hidup. Tapi, apa sesungguhnya kandungan dari makna kata tersebut? Berikut pakar ilmu al-Quran dan aktivis gerakan sosial KH Husein Muhammad menguraikan makna dan menyelaraskan dengan sumber-sumber ajaran Islam:

Saban hari kita menelusuri jalan-jalan dan lorong-lorong ramai maupun sepi. Tiap hari kita pulang pergi dari rumah ke pasar, sekolah, kantor atau tempat kerja. Siklus hidup kita paling tidak adalah bangun tidur, sarapan, kerja, makan siang, minum, bercakap-cakap, jalan-jalan, pulang, makan malam dan tidur. Entah sampai kapan rutinitas ini akan berakhir. Kita tak tahu. Kita juga tidak tahu apakah hari-hari kita ke depan masih akan panjang atau pendek. Berapa lama lagi kita akan berada di sini. Ya di dunia ini, di atas bumi ini.

Sejatinya hidup kita layaknya sebuah perjalanan, dari satu titik tempat ke tempat lainnya. Bertemu orang-orang baru, berbincang-bincang, lalu pergi ke tempat berikutnya untuk bertemu orang baru atau orang yang sudah lama tidak bertemu. People come and go.


Selasa, 22 Juni 2021

Jakarta

Sebagai orang yang lahir dan besar di luar Ibukota, sebuah keberuntungan (atau perjuangan) untuk bisa merantau ke Ibukota: pusat pemerintahan, pusat perekonomian, pusat perdagangan, pusat surga dan nerakanya kehidupan di Indonesia. Jakarta menyediakan segalanya beserta daerah-daerah penopangnya (Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor). Semua yang ada dan tak kita dapatkan di kampung halaman. Mentalita nyaman dengan rumah dari dalam diri sebenarnya sudah terbentuk 25 tahun yang lalu. Di mulai dari kecil, SD, SMP, SMA bahkan kuliah S-1 selalu berada dalam daerah yang sama. Untuk sekadar merantau pun hanya saat magang internship di Jogja, itupun hanya 2 bulan. Lalu sempat juga untuk ikut lomba karya ilmiah internasional di Malaysia dan India (negara terakhir ini punya kesan "traumatik") yang hanya satu minggu. 

Pengalaman menjadi warga Ibukota dan sekitarnya sebenarnya sudah tertanam sejak kecil. Saat Ibu menjadi mahasiswi universitas negeri di Depok. Setelah lulus, beliau menjadi pegawai instansi pemerintah di daerah Ampera, Jakarta Selatan. Setelah saya lahir, Ibu dipindahtugaskan ke Provinsi Jawa Tengah: Semarang. Selama tinggal di Semarang, biasanya setiap dua tahun sekali kami sekeluarga pergi ke Jakarta untuk mengunjungi rumah saudara. Dari situlah, kami tampaknya tidak mengalami culture shock untuk menjadi warga Ibukota.

Pengalaman yang membekas adalah saat mulai merantau meninggalkan Semarang menuju pinggiran barat daya Jakarta: Tangerang Selatan. Dengan bekal motor pinjaman saudara, saya berkelana berkeliling Jakarta. Tak terbayangkan motor Supra tahun 2009 berada di jalanan Sudirman Thamrin yang halus dan dikangkangi gedung-gedung tinggi. Sambil menahan gas motor, kepala saya terangkat, mengagumi gedung-gedung megah di sana. Berharap suatu hari berada di lantai atas yang melihat jalanan yang macet saat sore.

Jakarta menjanjikan segalanya. Pekerjaan, uang, barang-barang keduniawian. Di saat yang sama, aku merindukan untuk tinggal di pinggiran sawah, ditemani suara jangkrik di malam hari dan burung di pagi hari. Semua itu menjadi mimpi yang kontras untuk lelaki kampung ini  menapaki tanah mahal: Jakarta.

Sabtu, 31 Oktober 2020

Pulang

Delapan bulan meninggalkan kampung halaman cukup membuat saya 'kelelahan'. Banyak sekali kesalahan-kesalahan yang saya lakukan dalam pekerjaan. Mulai dari yang remeh-temeh hingga yang cukup besar. Bahkan, rasa capek ini membuat biologis dan psikis pun terserang. Hingga pada suatu hari saya 'mati rasa' dengan urusan pekerjaan. Caci-maki, bully, atau segala interaksi yang membutuhkan emosi pun saya tidak merasakannya. Kerjaan saya menunggu hari jumat tiba dan mengutuk setiap hari senin. Tidak ada feel. Hanya air mata yang bisa saya rasakan jika sudah muntab dan muak dengan urusan pekerjaan. Di saat itu, pikiran saya kosong, tidak fokus, tak ada rasa dan hati, bagaikan robot. Benar-benar tidak sehat. Akhir Oktober 2020 saya memutuskan pulang, mengambil cuti tahunan 2 hari. Meski penuh drama dan caci maki, saya tidak peduli. Saya butuh recharge.

Sepanjang 8 bulan yang penuh kegilaan ini, di otak saya selalu terputar lagu Iksan Skuter.

"Apakah kau pernah jauh dari rumah

Menemukan kegagalan dan air mata yang tak bisa lagi kau teteskan

Kusering merasakannya kawan ingin pulang dan merebahkan badan

Dikasur empuk dan diselimuti bapakku

Rindu sayur bayam masakan ibu

Kusering merasakannya kawan ingin pulang dan merebahkan badan

Sore diteras bersama bapakku ditemani teh panas ibu"

Saat pulang, saya tidak ingin selebrasi terlalu berlebihan. Mengupdate instastory berada di tempat liburan, memakan makanan yang mahal, atau merayakan kebebasan selama saya mengambil liburan. Terlalu semu buat saya. Berada di tempat tidur rumah, memakan makanan rumah, dan berinteraksi dengan keluarga dan teman terdekat sudah membuat saya merasa kembali menemukan diri saya. Ada rasa haru meski hanya berada di kamar yang kecil dan bau. Ada rasa rindu meski hanya tidur dan merebahkan badan untuk membuang waktu. Sembari beristirahat dan menyusun kembali kekuatan, saya juga tidak lantas melupakan pekerjaan dan tugas yang ada di minggu depan. Perlahan-lahan saya menyiapkan tugas dan berkomunikasi dengan kawan-kawan untuk sama-sama menyelesaikan tugas sialan. Harus banyak yang harus dipersiapkan untuk bisa menghadapi minggu depan.

Semoga momen pulang ini menjadi penyulut semangat untuk memulai pekerjaan. Momen ini menjadi pemicu untuk semangat belajar kembali. Dan momen ini menjadi faktor untuk bisa pulang lagi di akhir Desember. 

Sabtu, 02 Februari 2019

Takut

Sewaktu kecil, saya dikenal sangat penakut oleh keluarga. Ketakutan saya dimulai ketika film Godzilla (1998) sedang diputar di bioskop. Saya yang saat itu sedang berada di dekapan Ayah, mengikuti kemauan keluarga yang pada saat itu membeli tiket bioskop untuk menonton film tersebut. Awalnya berlangsung baik-baik saja. Hingga pada akhirnya, lampu studio dimatikan. Sontak saya menjerit dan menangis karena mau menonton film saja harus gelap-gelapan (seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa gelap-gelapan adalah hal yang mengasyikkan). Apalagi saya sudah merinding dulu mendengar nama Godzilla, nama singkat nan misterius yang bisa disetarakan dengan nama Suzanna. Melihat tingkah saya yang sudah tidak karuan, Ayah dengan rasa malu dan marah membawa saya keluar studio. Dengan penuh amarah, saya dinasehati untuk tidak menangis dan tidak takut dengan kegelapan yang ada di studio. Saya pun jejeritan dan masih tak mengerti mengapa orang-orang senang dengan kegelapan dan monster jahat yang membuat saya takut. Akhir cerita, saya dan Ayah sampai di rumah lebih cepat dibanding Ibu dan kakak saya yang masih menonton. Dan keluarga pun rugi setelah dua bangku itu tak terisi karena saya.

Kejadian itu menjadi pondasi ketakutan yang ada di jiwa saya. Dan memupuk segala ketakutan yang ada berkenaan dengan hantu dan sesuatu yang tak kasat mata. Mungkin sifat itu terbentuk sikap orang tua yang selalu melarang anaknya dengan bermaksud protektif. Orang tua sering melarang untuk melakukan hal yang bersifat negatif: mulai dari keluar rumah larut malam, merokok, berpacaran, dan sebagainya. Hingga hal-hal yang sepertinya tidak masuk akal: latihan motor, naik motor keluar kota, hingga melakukan bisnis kecil-kecilan. Hal ini tanpa sadar membuat saya menjadi orang yang gampang takut dan khawatir untuk melakukan sesuatu dan menjadi orang yang selalu membayangkan skenario yang tidak-tidak jika saya melakukan tersebut. Secara positif, mungkin bisa meningkatkan kewaspadaan saya terhadap sesuatu. Yang membuat berlebihan, mungkin menjadi orang yang mudah khawatir dan tidak berkembang.

Hampir pola asuh orang tua proksimal (ala timur) mempengaruhi jiwa-jiwa anaknya untuk taat dan patuh pada orang tua. Hal itu merupakan sesuatu yang bagus. Namun, terkadang saya menyadari bahwa itu akan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan yang bersifat mandiri. Timbul rasa ragu-ragu jika sudah dihadapkan pada suatu masalah, yang mungkin pada akhirnya membuat kita sulit untuk berkembang. Begitu pun di lingkungan kita. Selalu ada stereotipe dan mitos untuk menakut-nakuti warga sejak jaman dulu kala. Kita selalu diwanti-wanti tentang hantu yang bersifat fisik maupun ideologis. Ketakutan ini dilestarikan dan dieksploitasi dengan baik oleh para pemangku kepentingan. Menciptakan sebuah trauma. Dan pada akhirnya, membuat kita menjadi tidak berkembang.

Terkadang saya berpikir, apa yang membuat orang menjadi takut. Kenapa orang takut pada subjek tertentu. Saya seperti orang iseng kebanyakan: mencari kata kunci “takut” di mesin pencarian.  Dari situ, saya menemukan penjelasan ilmiah alasan orang memiliki rasa takut. Ketika merasa takut, otak merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuh seperti jantung berdebar, napas cepat, otot menegang, bahkan keluarnya keringat. Perasaan takut ini bisa menimpa siapa saja. Dan cara masing-masing orang meresponsnya pun berbeda-beda.

Suatu hari saya mendengarkan podcast, dari situ terdapat suatu kutipan, kelak teknologi yang paling laku adalah yang bisa mengatasi ketakutan. Setelah mendengar itu saya berpikir, betul juga. Tiap orang, seberani dan segentar apapun, juga memiliki ketakutan dengan kadar dan subjek yang berbeda tentunya. Manusia pada hakikatnya belum benar-benar menguasai ketakutan sehingga perlu adanya bantuan dari orang lain untuk mengatasinya, meskipun ada juga yang memiliki kekuatan sendiri.

Sampai saat ini, takut seperti menjadi bagian dari diri saya. Suatu ketakutan yang tidak saya ketahui. Berada di bawah bayang-bayang ketakutan sungguh tidak menyenangkan. Layaknya permen karet yang menempel di sepatu. Tetapi saya mencoba untuk berjalan seperti biasa. Layaknya tidak terjadi sesuatu, dan sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Sambil mencari makna, bahwa ketakutan terjadi karena kamu tidak mengetahui apa yang kamu takuti. Ketakutan terjadi karena kita hanya mendengar apa yang dilarang, tanpa melihat kebenarannya.

Jumat, 16 Maret 2018

Menanti Pintu yang Terbuka

Akhirnya setelah empat tahun lamanya, gelar sarjana bisa diraih. Proses mendapatkannya yang cukup membuat frustasi, bercucuran air mata, dan menghabiskan banyak biaya. Meski di akhir cerita mendapatkan "kemudahan", tapi butuh kerja keras dan Alhamdulillah, keajaiban Tuhan memiliki andil dalam alur ini. Seperti lirik lagu gaudeamus igitur, bersenang-senanglah selagi masih muda, kami merayakan kelulusan dengan penuh kegembiraan. Sorak sorai teman-teman angkatan dan adik-adik yang turut menyambut, pak rektor yang ikut sumringah saat menjabat tangan kami, dan yang terpenting orang-orang yang kita cintai turut hadir dalam selebrasi satu malam ini. Tapi, larutnya pesta ini terkadang membuat kita tak sadar, bahwa ada hal lain yang lebih penting dari kelulusan: kenyataan.

Fase ini adalah krusial. Berbagai kemungkinan terjadi setelah kelulusan. Mungkin ada yang sudah bekerja karena sudah diterima sebelum wisuda, ada yang fokus dengan bisnisnya, ada yang sudah ancang-ancang menlanjutkan studinya, atau ada yang sudah siap menjalin kisah rumah tangga. Semua kemungkinan ini, tidak berlaku bagi mereka yang tidak punya tujuan: termasuk saya. 

Kebingungan melanda dengan berbagai alasan, antara faktor keluarga atau faktor dirinya. Mungkin dari kita ada yang keluarganya menginginkan anaknya untuk segera mencari pekerjaan, apapun pekerjaannya, berapapun gajinya, asal bisa membantu meringankan orang tua. Ada lagi dari keluarga yang menginginkan anaknya untuk segera lanjut studi, entah di dalam atau luar negeri, entah beasiswa atau biaya sendiri, selagi orang tua mampu pendidikan adalah yang utama baginya. Dan masih banyak kemungkinan dari keinginan orang tua untuk anaknya yang sudah diwisuda.

Di sisi lain, dari segi anaknya. Banyak sekali kemungkinan yang dimiliki oleh anak. Setelah wisuda, anak ini ingin istirahat dengan travelling ke tempat idaman yang tidak bisa dilakukan selama kuliah. Ada juga yang mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menambah softskill. Ada juga yang menghabiskan waktu bermain komputer berjam-jam. Dan sebagainya.

Tapi kemungkinan di atas, seperti tidak berlaku buat saya. Saya tidak memiliki rencana setelah saya lulus. Semua rencana untuk bekerja di industri yang diinginkan ambyar karena perusahaan yang bersangkutan tidak mencantumkan lulusan fisika sebagai calon pegawainya. Kendala tersendiri buat saya adalah latar belakang pendidikan yang saya miliki atau memang kompetensi saya yang masih jauh panggang dari api. Dari situ saya sadar, bukan salah dari pendidikannya tapi kompetensi yang dimiliki saya sudah kalah jauh dari orang yang memiliki kompetensi lewat pendidikannya.

Hingga hari ini, saya mencoba untuk berikhtiar. Menulis biodata dan memoles citra untuk personal data. Mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Menggerus pundi-pundi untuk mengurus administrasi. Sambil berikhtiar, saya berkeluh kesah dengan-Nya. Ingin sekali ada cerita yang bisa saya ketahui di masa depan, termasuk saya akan bekerja sebagai apa. Andai saja Tuhan membocorkan cerita saya, saya mungkin tidak akan berusaha. Maka dari itu, sambil melanjutkan langkah ke hutan rimba lowongan kerja atau samudera beasiswa, saya masih menanti pintu itu terbuka. 

Rabu, 16 Agustus 2017

Agustus

Bulan Agustus biasanya menjadi bulan terbaik selama saya menjadi mahasiswa. Banyak sekali agenda-agenda terbaik yang saya lakukan ada di bulan ini. Tidak dipungkiri juga Agustus bagi sebagian orang termasuk di negara Indonesia menjadi bulan yang dianggap terbaik meskipun ini hanya pandangan sebagian orang saja. Toh negara Indonesia ini juga merayakan kemerdekaannya di bulan Agustus.

Di tahun pertama selama kuliah, untuk pertama kalinya saya menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi terbaik se-Tembalang. Saya masih ingat bahwa saya pertama kali mendaftar ulang di gedung besar yang dinamai salah satu rektor terlama di universitas tersebut. Setelah mendaftar, saya disambut para senior yang memakai jas almamater dan mencari anak-anak dari jurusan Fisika. Kemudian saya berkenalan dengan orang-orang baru yang kelak menjadi teman-teman seangkatan di jurusan fisika. Sejak saat itu, saya merasa bahwa ada juga yang peduli dengan mahasiswa baru yang belum mengerti apa-apa tentang seluk beluk jurusan ini. Momen itu menjadi awal momen-momen terbaik di bulan Agustus selama menjadi mahasiswa.

Di tahun berikutnya di bulan Agustus, saya pertama kalinya kembali mendaki gunung selama menjadi mahasiswa setelah sebelumnya terakhir kali saya lakukan saat menjadi anak pecinta alam waktu SMA. Saya diajak oleh teman wanita seangkatan saya untuk mendaki gunung Merbabu. Gunung yang sudah saya daki, meskipun cuman sekali. Ternyata teman saya ini rupanya diajak oleh seorang senior dengan modus mendaki gunung, padahal ya niat dari senior itu pengen penjajakan saja dengan dia, saya mah nemenin aja minimal menjadi bodyguardnya karena niat saya ya karena ingin mengulang kembali mendaki gunung Merbabu, jadi saya ikut saja. Ternyata saya seperti kembali ke masa lalu, merasakan letihnya mendaki, melawan dingin yang menerpa, dan melawan rasa takut dan kantuk di malam hari. Tetapi setelah itu lelah ini terbayarkan oleh indahnya pemandangan dari puncak serta melihat berkas siluet orange di langit biru yang merupakan terbitnya matahari pagi. Saya kembali ke masa muda. Dan yang terbaik dari itu, karena kebetulan hari itu bertepatan dengan tanggal 17 Agustus maka saya untuk pertama kalinya merasakan upacara di puncak gunung dengan paskibraka dari pecinta alam. Sungguh nikmat sekali.

Tahun berikutnya merupakan sekuel dari tahun sebelumnya, saya diajak teman saya yang tahun lalu mengajak mendaki gunung Merbabu. Ironisnya, teman saya tadi ternyata diajak oleh senior yang tahun lalu mengajak mendaki gunung. Bedanya, kali ini mereka sudah dalam status pacaran dan sepertinya mereka mencoba untuk bulan madu bersama, dengan saya sebagai porternya. Kali ini kami mencoba indahnya Dieng dengan pemandangan indah saat sunrise di bukit Sikunir. Namun sebelum itu, kami mencoba berenang di Umbul Ponggok Klaten dan menikmati indahnya malam di kota Yogyakarta. Di hari selanjutnya, kami berkeliling di Dieng. Hawa dinginnya sangat menusuk, bahkan kami seperti kucing yang takut akan air mengingat air di Dieng sangatlah dingin. Dan bisa dibayangkan apalagi saat kami harus pergi keluar jam 3 pagi hanya untuk mendapatkan sunrise di bukit Sikunir. Tapi tantangan itu terbayarkan saat kami mendapatkan yang kami inginkan, sunrise warna jingga keemasan di langit yang hitam. Bersama para pengunjung yang begitu ramai, kami mengibarkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ya, kami mengadakan upacara 17 Agustus di bukit Sikunir.

Di tahun berikutnya, saya dan teman-teman pergi ke Bogor untuk mewakili universitas mengikuti pekan ilmiah mahasiswa nasional. Disana, kami berhadapan dengan mahasiswa terbaik seluruh Indonesia dengan menjual kreativitasnya masing-masing di hadapan para reviewer untuk mendapatkan medali dan mengharumkan nama almamater. Dan itu adalah momen yang cukup epic dimana saya seperti dianggap sebagai "prajurit" yang akan bertempur di medan laga membawa nama universitas tercinta. Seorang prajurit pun ternyata tak bisa bergerak sendiri, butuh sebuah tim yang solid untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dan Alhamdulillah, kami diberkati sebuah tim yang komplit dan kompak sehingga dapat membawa medali perak di tingkat nasional. Singkat cerita dengan segala perjuangan kami yang penuh perjuangan dan doa --seperti lagu bang Haji-- kami mendapatkan apa yang diinginkan yaitu medali, sehingga minimal kami bisa pulang ke Tembalang membawa kalung perak. Dan suatu kebanggaan juga, pada upacara 17 Agustus kami diundang bapak Rektor untuk sarapan bersama sekaligus penutupan tim yang kemarin bertempur di tingkat nasional. Ya lumayan lah sudah pernah salaman dan foto bareng beliau meskipun nanti juga salaman waktu wisuda. Hehehe.

Untuk tahun ini, saya mencoba menyepi dari momen-momen terbaik yang biasa saya dapatkan di bulan Agustus. Saya juga mencoba prihatin setelah di tahun ini adalah tahun yang paling genting di hidup saya. Dimana akhir-akhir masa kuliah saya dipertaruhkan. Dimana saatnya untuk berpikir ke depan untuk melihat apa yang harus saya lakukan setelah saya selesai kuliah. Tahun dimana seorang yang berpengaruh di hidup saya, berubah. Ya waktu memang terus bergulir dan membuat cerita-cerita terbaru. Tapi saya yakin, Agustus ini mungkin Agustus terbaik dalam hidup saya untuk menepi dari keadaan dan bercermin diri.




Jumat, 02 September 2016

Patah Hati Terbaikku

Sudah lama saya tidak bercerita di blog ini. Terakhir kali saya menulis blog pada bulan Februari, malam sebelum ulang tahun. Tujuh bulan sudah saya memiliki banyak bekal untuk bercerita. Tentang perjalanan saya yang tidak penting atau curhatan saya yang tidak penting juga. Tapi yang ingin saya ceritakan adalah imajinasi saya setelah nonton Ada Apa Dengan Cinta 2.

Saya bukan orang yang senang dengan film drama walaupun hidup saya penuh dengan drama. Tapi saya seorang yang memiliki imajinasi lebih saat merasakan hal-hal yang menurut anak jaman sekarang terbawa perasaan atau baper. Mungkin terkesan melankolis, tapi gakpapa. Namanya juga terserah saya mau nulis apa. Imajinasi kan bisa tercipta dari mana dan kapan saja. Termasuk lagi baper setelah nonton AADC 2.

Seperti yang kita tahu, AADC 2 merupakan lanjutan dari AADC yang waktu itu ending nya gantung kayak hubungannya Rangga dan Cinta. Hingga pada akhirnya hubungan mereka kembali berlanjut berkat bantuan salah satu aplikasi sosial media terbesar di dunia. Hebat sekali aplikasi ini sampai turun tangan memperbaiki hubungan Rangga dan Cinta. Dan pada akhirnya, mereka kembali berhubungan kembali. Layaknya orang yang sama-sama tidak bisa move on. Kalau kata mbak @awkarin sih, kamu itu patah hati terbaik aku. Padahal kalau barang di toko yang sudah patah atau rusak karena kelakuan kita itu berarti kita wajib membeli atau bertanggungjawab. Logika cinta memang serumit logika matematika jika dan hanya jika.

Dari film itu, imajinasi liar saya muncul. Terlintas apa yang pernah saya alami saat merasakan rasanya memiliki pasangan, menjalin hubungan, merajut kisah-kisah asmara, dan sebagainya. Kini waktu terasa begitu cepat berlalu. Mereka yang pernah menjalin hubungan dengan saya sudah memiliki pasangannya masing-masing. Mencari yang lebih baik dari saya.

Sementara saya ? Menikmati apa yang ada. Meluangkan waktu dengan Tuhan, keluarga, saudara, teman, sahabat, relasi, dan lain-lain. Saya juga meluangkan waktu untuk sendiri, menikmati perjalanan, merenungi nasib, introspeksi diri, dan sebagainya. Kadang di tengah perjalanan saya berkelana terbesit pikiran, “Kalau saya berpetualang sama pasangan kayaknya seru ya.” Dan sayangnya, saya berbicara seperti itu pada diri saya sendiri layaknya orang gila.

Ya begitulah problema. Mesti diingat lagi. Kata Rumpies di lagu Nurlela. Tapi ini bukan problema yang membaca. Ini juga bukan problema saya juga. Karena saya tidak menganggap itu menjadi sebuah masalah yang mempengaruhi hidup saya. Sekali lagi saya berimajinasi saat saya di posisi Rangga yang ratusan purnama tidak ada di hati Cinta kembali untuk meminta Cinta kembali bersamanya. Dan pastinya kenangan Cinta saat menjalin hubungan dengan Rangga pun kembali terbuka sehingga tidak ada alasan bagi Cinta untuk tidak move on.

Saya lalu berpikir, jika saya menjadi Rangga (mudah-mudahan ada reality show-nya) akankah dia—yang tidak boleh disebutkan namanya—memilih bersama saya untuk merajut kisah kasih nan mesra ? Saat saya sudah memiliki apa yang saya inginkan, sudah melakukan apa yang saya mau, atau memiliki segalanya lalu saya hadir lagi ke dalam kehidupannya. Apakah dia akan berkata, “Kamu patah hati terbaik aku.”


Sekali lagi, ini hanya imajinasi liar saya saja. Saya tidak mau mengganggu apa yang sudah mereka jalani. Saya tidak mau mengganggu administratyur yang sudah teratyur (kata om Kasino) meski saya terkesan ngelantyur. Toh pengalaman baru dan orang-orang baru selalu ada mengisi kehidupan saya. Hidup saya terus berjalan dengan kisah lama yang telah menjadi cerita, dan kisah baru yang menjadi pemacu.

Jumat, 11 Maret 2016

Karena Hidup Adalah Konser

Lelaki berkumis itu rela berdesak-desakan dengan kerumunan massa yang ada di kawasan Simpang Lima. Sambil menggendong anaknya yang berumur dua tahun, dia mencari posisi yang paling nyaman demi untuk menonton artis dari Jakarta. Konon katanya, artis ini merupakan musisi dangdut tersohor yang kebetulan bagian dari kampanye salah satu partai besar dalam rangka meraih suara di ibukota Jawa Tengah. Tetapi yang menarik perhatian ini bukan janji-janji yang diberikan wakil rakyat, melainkan penampilan artis dangdut ini yang dikenal memiliki basis fans yang militan.

                Setelah lelah mendengarkan omong kosong dari para wakil rakyat, akhirnya momen itu datang juga. Artis yang dijanjikan akan segera tampil untuk menghibur para penonton (walau sebagian yang menonton adalah simpatisan kader partai). Namanya sudah mulai dielu-elukan saat MC menyebutkan namanya. Dan benar saja. Massa semakin heboh saat artis ini mulai naik ke atas panggung. Sambil berbasa basi, tak lupa artis ini mengajak para penonton untuk memilih partai yang dipilih olehnya. Sayangnya, massa tak peduli itu. Yang mereka butuhkan adalah artis ini segera mendendangkan lagunya.

                “Baiklah, lagu pertama untuk kalian semua... 1... 2... 3...”

                Suara gendang dan bas sudah membuat sound system di lapangan Simpang Lima seakan pecah. Mengalunlah lagu pertama, disambut sorak sorai penonton yang memasang kuda-kuda untuk berjoget. Sang bapak berkumis tadi tak ketinggalan berjoget, dengan mengangkat anaknya ke udara, layaknya memamerkan sebuah piala. Sang anak pun menangis ketakutan karena kaget mendengar bebunyian yang mendebarkan jantungnya. Artis ini membuat massa kembali bersemangat.

                Begitulah pengalaman pertama saya saat melihat konser. Waktu itu, saya masih dalam dekapan ayah yang memang fanatik dengan artis tersebut. Hingga sekarang, ayah masih sering menyanyikan lagu-lagu dari beliau yang kini masih aktif berpolitik. Terlepas dari itu, menonton konser adalah suatu pengalaman yang sangat mengasyikan.

                Sebagian orang, menganggap menonton konser adalah aktivitas hedon. Mereka rela mengeluarkan dana (dari puluhan ribu hingga berjuta-juta), hanya untuk melihat penampilan musisi memainkan belasan atau puluhan lagu. Sedangkan mereka hanya menikmatinya sambil duduk menghayati lagu sambil sesekali mendokumentasikan penampilan musisi yang menjelajahi panggung.

Ada juga bagi orang-orang yang menonton konser cuma-cuma di tengah lapangan tandus pada siang hari sambil berjoget-joget mendengar bunyi gendang ditabuhkan. Setiap konser memiliki pangsa pasar dan kelasnya masing-masing.

Menurut wikipedia Indonesia, konser berasal dari bahasa Italia : concerto yang artinya berjuang atau berlomba dengan orang lain. Dalam istilah, konser adalah pertunjukan seni langsung dihadapan penonton. Konser merupakan pertunjukan yang menyuguhkan penampilan, ke hadapan penonton sehingga merasa terhibur.


Tak peduli dengan anggapan orang, bagi saya menonton konser adalah melihat pertunjukan yang kompleks. Karena disana banyak aspek yang dipersiapkan. Aspek teknis, nonteknis, eksternal, dan sebagainya. Dan konser adalah cara saya untuk melepaskan penat, karena dengan menonton konser sama seperti menonton kehidupan, entah dari musisi atau seniman yang menampilkannya maupun sesama penonton disekeliling kita. Saya senang dengan semangat sang musisi menyanyikan lagu mereka, diiringi nyanyian bersama para penonton sambil bernyanyi. Dan disitu, salah satu letak kebahagiaan saya bisa melihat perjuangan para pengisi kehidupan. Karena pada dasarnya seperti kata Arian Arifin (vokalis Seringai) dalam hastag instagramnya, #HidupAdalahKonser.